Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CERPEN ARUNIKA DI UJUNG NUANSA


 

ARUNIKA DI UJUNG NUANSA

oleh 

JOSEPH GOENAEDHY

Bulan purnama masih tegar pancarkan cahaya. Memendar di langit hitam. Hanya beberapa bintang kecil menemani rembulan. Suara binatang malam ikut meramaikan suasana yang mulai kelam. Di teras rumah Rian sedang asik duduk di kursi panjang sambi  memainkan gitarnya. Menyanyikan lagu tenang dari grup fourtwenty. Kata yang indah seolah mengungkapkan perasaannya.

“Sudah malam,Ian. Kamu kan besok berangkat lebih awal.” Bunda yang mendengar Rian masih bermain gitar datang mendekatinya.

“Sebentar, Bunda. Ini latihan buat besok, pelajaran seni budaya.”

“Ya, sudah. Jangan kemalaman.”

“Beres,Bunda. Oh, iya…Mba Rani sudah sembuh, Bunda?  Rian menatap bundanya dan menghentikan alunan gitarnya.

“Alhamdulillah. Demamnya sudah turun.” Raut muka Bunda nampak ceria. “Bunda ke dalam dulu. Ingat besok bangun lebih awal!” Bunda masuk ke dalam rumah

 Rian masih  termenung memikirkan kakaknya. Seorang kakak yang sangat sayang kepadanya. Selalu ceria dan murah senyum. Sekarang terbaring lemah karena sakit.

Malam kian sunyi. Suara tokek membuatnya tersadar dan bergegas bangkit menuju dalam rumah.

Cahaya mentari masih malu bersinar hanya kabut putih tipis temani pagi yang dingin. Rian sudah terbangun sebelum subuh tiba dan sibuk membantu menata keripik tempe yang sudah selesai digoreng Bunda.

“Sudah selesai semua, Ian?”

“Sudah. Bunda. Semua  empat puluh bungkus.”

“Ya, itu nanti dibawa ke warung Ibu Siyam. Kemarin Ibu Siyam pesan  dan meminta diantar pagi ini. Mandilah dahulu sana!”

“Oke, Bunda. Nanti Rian bawa sekalian berangkat sekolah.”

Rian melanjutkan aktivitas paginya  menimba air di sumur dan mengisi bak air setelah itu mandi. Selesai berpakaian rapi Rian mengeluarkan sepeda jengki warna birunya. Menata keripik tempe dalam dus dan diikat pada boncengan sepeda.

“Sarapannya jangan lupa, Ian.”

“Nanti Rian bawa saja buat bekal.” Rian masih asik mengikat dus keripik tempe pada boncengan sepeda.

Bunda hanya tersenyum seolah mengerti kemauan Rian.

“Rian tidak apa apa bantuin Bunda?” Tiba-tiba  Rani muncul disamping Rian.

“Tidak apa-apa, Mbak . Mbak Rani istirahat saja biar cepat sembuh. Biar Rian yang gantikan Mba Rani mengantar keripik tempe Bunda.”

Rani tersenyum. Biasanya dirinya yang selalu membantu Bunda. Membungkus keripik dan mengantarkan kepada pelanggan. Tetapi semenjak dirinya sakit tiga hari lalu, tugasnya digantikan oleh adiknya Rian.

Di rumah itu hanya mereka bertiga. Semenjak Ayah Rian meninggal dunia karena sakit, Bunda yang berperan menggantikan pekerjaan ayah sebagai penjual keripik tempe dibantu Rani. Rani, seorang kakak perempuan yang mau berkerja keras,ulet dan pantang menyerah. Saat pagi sebelum berangkat sekolah dan pulang sekolah selalu membantu tugas Bunda. Rian bertugas menyelesaikan pekerjaan rumah yang ringan. Karena dirinya sudah kelas tiga SMP dan sebentar lagi ujian, sehingga Bunda tidak mau membebani dengan pekerjaan yang berat.

Rian bersepeda dengan santai sambil membawa pesanan keripik tempe dan siap mengantar ke warung Ibu Siyam. Kebetulan warung Ibu Siyam tempatnya searah dengan sekolah. Tak ada rasa beban dan malu dalam hati Rian. Dia selalu berusaha dengan sepenuh hati membantu Bunda.

“Mbak Rina, coba lihat. Bukankah itu Mas Rian teman  satu kelas Mbak Rina? Ngapain dia bawa keripik tempe banyak disepedanya?” Elin mengagetkan Rina yang sedang asik main penyeranta  di dalam mobil

“Mana? Eh...iya, Lin. Betul itu Rian. Dia lagi mengantar keripik dagangan ibunya.” Rina melihat Rian dari dalam mobilnya yang jalan perlahan.

“Aku salut banget sama itu Mas Rian, Mbak”

“Salut bagaimana?” Rina cuek menanggapi Elin.

“Udah ganteng, baik, engga sombong, sederhana…eh masih juga mau membantu orang tuanya. Coba pikir seandainya punya pacar dia.” Elin mulai membayangkan.

“Hei …halloooo….jangan halu ya. Memang kamu siapa? Lagian apa setara dengan kita?” Rina membuka pintu mobil dan keluar. Sementara Elin masih asik dengan lamunannya.

“Hei…anak manis, mau sekolah atau mau berimajinasi di dalam mobil. Cepat turun dan kita sudah sampai di sekolah!” Rina membuyarkan impian Elin

“What..udah sampai. Kok Mbak Rina baru bilang.” Elin buru-buru turun dari mobil dan merapikan rambut dan bajunya.

“Makannya pakai sendok.”

“Maksudnya, Mbak. Makan pakai sendok?

“Pikir sendiri”

Rina berjalan meninggalkan Elin yang masih bingung dengan pertanyaan Rina.

“Mbak, jangan ditinggal dong.” Elin berlari menyusul kakaknya.

Bel sekolah tanda masuk sudah dibunyikan. Semua siswa bersiap di luar kelas. Berbaris rapi dipimpin ketua kelas. Rian sibuk menyiapkan kelasnya yang sedikit tidak rapi, terutama siswa putri yang meminta perhatian lebih dari Rian. Di sekolah Rian terkenal ketua kelas paling rajin, pandai, ganteng dan aktif dalam kegiatan osis dan pramuka. Hampir semua siswa putri mengaguminya, walupun akhirnya banyak siswa putri harus gigit jari dan patah hati, karena Rian orangnya supel dengan siapa saja dan menganggap semua adalah temannya. Tidak ada yang baginya spesial. Rian hanya ingin lulus dengan nilai terbaik dan megikuti jejak kakaknya Rani. Lulus dengan nilai tertinggi di sekolah itu. Dalam hatinya itu yang bisa membahagiakan Bunda.

“Oke anak-anak.” Pak Sastro guru seni budaya mulai membuka pelajaran “ Siap ya! Praktek hasil pembelajaran kalian dalam bermain gitar dan menyanyi. Kita mulai dari absen pertama maju ke depan!”

Semua siswa mulai diam memperhatikan. Tidak ada yang berani main-main dalam pelajaran Pak Sastro. Orangnya galak dan tegas. Satu persatu mulai mempraktekan. Sekarang giliran Rani yang maju kedepan. Dirinya mulai gemetar. Sudah tiga hari ini latihan tetapi belum bisa memetik nada pada gitar dengan tepat. Rian yang duduk di bangku depan memperhatikan dengan serius.

“Rani…! Bagimana dari tadi kok tidak bunyi gitarnya? Mau remidi tiga kali ya?”

“Sebentar, Pak.” Rina berusaha mencoba lagi. Tetapi tetap tidak bisa berbunyi.

“Sudah…sudah…sudah. Gantian absen berikutnya.”

Rian maju dan mengambil gitar dari tangan Rina. Rian masih merasakan tangan Rina gemetar saat menyerahkan gitar. Dirinya merasa kasihan pada Rina. Rina kembali duduk dibangkunya. Rian mulai memainkan gitar dan menyanyikan lagu tenang. Rina memandangnya dengan serius dalam hatinya merasa ada sesuatu yang berbeda saat Rian menyanyikan lagu. Tatapan mata mereka beradu tanpa sengaja. Rian membawakan lagu dengan merdu dan petikan gitarnya membuat seluruh kelas terdiam. Pak Sastro sampai tersenyum dan mengikuti aliran lagu dengan menggeleng-gelangkan kepala.

Tepuk tangan seluruh kelas membuyarkan Rina yang tadi sempat meresapi lagu dari Rian. Pak Sastro mendekati Rian dan menepuk pundaknya.

“Bagus sekali! Ini yang pak guru mau. Khusus Rina karena kamu belum bisa mendapatkan nilai, silakan belajar gitar dengan Rian. Pulang sekolah langsung belajar di ruang musik.”

“Tapi pak?” Rina bertanya dengan kecewa

“Kalau kamu mau dapat nilai silakan belajar dengan Rian! Jika sudah bisa silakan ketemu dengan saya!” Ucap Pak Sastro tegas

Rina terlihat lesu dan tidak semangat. Dalam hatinya sangat kecewa. Dia sudah berusaha tetapi nyatanya belum juga bisa, padahal dirumah ayahnya sudah berusaha memanggil orang yang ahli untuk memberi les privat belajar gitar.

Bel pulang sekolah menyebar di seluruh kelas. Berbunyi dengan indahnya. Memberi kegembiraan kepada semua siswa. Kecuali Rina. Hatinya tidak karuan. Kenapa harus belajar pada Rian, bukan dengan yang lain.

“Hei…kenapa melamun.”

Rian menyapa Rina yang datang lebih awal di ruang music. Rina hanya diam sebentar kemudian menjawab dengan ketus.

“Kenapa harus dengan kamu. Aku tahu kamu paling bagus paling pandai. Tetapi aku itu ga bisa seperti kamu.” Matanya mulai berkaca-kaca.

Rian memandangi Rina. Dalam hatinya begitu mengerti betapa kecewa Rina. Dan Rian merasa bersalah.

“Maafkan…jika tidak berkenan. Aku hanya mau membantu. Kamu boleh pulang jika tidak mau belajar denganku. Aku hanya menjalankan tugas yang diberikan Pak Sastro. Kamu bisa belajar dengan orang lain.” Rian mencoba membaca perasaan Rina. Rian memandang Rina dengan seksama. Dan Rina hanya terdiam tak mampu kata, seolah terkunci

Rian mengambil gitar dan mulai memainkan sebuah lagu di depan Rina.

Denganmu tenang

Tak terfikir dunia ini

Karnamu tenang

Semua khayal seakan kenyataan

Berlari-lari di taman mimpiku

Imajinasi telah menganyutkan

Mimpiku sempurna tak seperti orang biasa

            Rina menangis saat mendengarkan Rian menyanyikan lagu itu hingga usai.

            “Maaf jika membuatmu menangis.” Rian kaget melihat Rina meneteskan airmata.

            “Kenapa kamu mau mengajari aku?” Rina mulai bertanya dalam tangisnya

            “Aku hanya ingin membantu semua temanku. Semampu aku.”

Perlahan Rina mulai menatap wajah Rian. Dalam hatinya bertanya  mengapa Rian begitu peduli kepada siapapun. Padahal Rian hanya orang biasa tidak memiliki kekayaan yang bisa dibanggakan seperti dirinya. Rina sering meremehkan Rian. Rina menganggap semua hal  bisa dibeli dengan uang. Ternyata tidak semua bisa dibeli dengan uang. Ketulusan.

            “Maafkan aku Rian. Awalnya aku itu… melihat kau dengan sebelah mata. Tetapi setelah melihat kamu menyanyikan lagu. Aku melihat kamu itu berbeda. Kamu ikhlas membantu, bukan karena aku anak orang kaya dan terpandang.”

Rina mulai berani berkata. Dirinya mulai tenang.

“Iya tidak apa ,Rin. Memang aku orang biasa.” Rian tersenyum.

“Tapi bagiku kau luar biasa. Lagu kamu sangat menyentuh.” Rani mulai bisa tersenyum

“ Eh…kamu belum makan ya. Kamu boleh makan dulu sebelum latihan.” Rian  mengingatkan Rina

“Memang boleh?” Rina bertanya

“Silakan jika mau makan dahulu. Biar aku menunggu di sini saja.” Rian menjawab dengan santai.

“Lo..kamu engga sekalian makan. Aku yang bayarin loh.” Rina memohon

“Terima kasih. Aku sudah makan. Aku bawa bekal dari rumah. Lain kali saja.” Rian tersenyum, matanyamenatap Rina.

“Oke deh..tapi lain kali mau aku traktir ya. Janji “ Rina mengangkat jari kelingkingnya

“Janji. In Sha Alloh.” Rian menyambut kelingking Rina.

“Oh iya…Rian. Sekalian aku mau pamitan dengan Elin. Biasanya dia nungguin aku. Aku akan suruh dia pulang dulu.”

“Oke.”

Senyum Rina dan Rian seolah mendamaikan hari. Rian dengan sabar menunggu Rina yang sedang turun dari ruang kesenian membeli makanan. Rian memainkan gitar dan menyanyi untuk mengusir kejenuhan. Menanti. Satu jam berlalu

“Maaf ya kelamaan. Ini aku belikan minum.” Rina menyodorkan sebuah minuman vitamin C dosis tinggi.

“Terimakasih,Rin.” Menyambut pemberian Rina dan langsung membuka dan meminumnya sampai habis.”Rin…kalau kamu mau belajar memainkan gitar kukunya kamu mesti dipotong biat senar gitarnya bisa berbunyi.”

“Emang berpengaruh ya?” Rina menjawab sambil makan bakso bakar yang dibelinya.

“Pasti berpengaruh.” Rian mencoba menerangkan dengan serius. “Coba saja nanti ada bedanya.”

“Oke deh…nanti aku potong. Kebetulan aku bawa pemotong kuku. Yang penting aku bisa dapat nilai dari Pak Sastro.”

Selesai makan Rina mulai mengikuti petunjuk Rian. Kuku-kukunya yang panjang dipotong. Rina mulai belajar kunci gitar dengan seksama dan berusaha menghafal. Rian dengan sabar mengajari. Tanpa terasa sore mulai menjingga. Rina telah berhasil mengalunkan melodi gitarnya meski belum seindah Rian.

Senja mulai turun ke bumi. Rina dan Rian telah pulang kembali ke rumah mereka. Senyum mereka memancar menyambut senja.  Berharap esok hari kembali bersama mereka arungi hari. Lewati mimpi dan imajinasi.

 

 

 

 

PROFIL PENULIS

 

 Nama                                      : Joseph Goenaedhy,S.Pd

Tempat tanggal lahir               : Cilacap, 29 April 1979

Pendidikan Terakhir                : S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra di Universitas PGRI Semarang

Tempat mengajar                     : Menjadi Guru Mapel Bahasa Indonesia di SMP Negeri   Kalimanah,  Purbalingga sejak tahun 2004 awalnya menjadi Guru Tidak Tetap

 Kemudian pada tahun 2008 menjadi PNS dan ditempatkan disekolah  yang sama sampai saat ini

Hobi                                        : Menulis Puisi,Mencipta lagu, Traveling dan  Musik Band

Buku kumpulan puisi pertama Tujuh Takdir Mentari Pagi (Antologi Puisi Desir Delisha),  buku kedua Antologi Puisi Gurat Batu Hati, buku ketiga Antologi Puisi “Balada Anak Penjuru”. Dan Buku keempat  Kumpulan Puisi Rahasia Senja. Puisi dan lagu bisa di nikmati pembaca dan pendengar di media facebook, Youtube dan Instagram dengan nama udara Joseph Maniez,



 

 

           

 

 

 

           

Posting Komentar untuk "CERPEN ARUNIKA DI UJUNG NUANSA"