Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerbung SAAT JARAK MEMISAHKAN

 

 


SAAT JARAK MEMISAHKAN

Hujan deras mengguyur bumi. Malam ini. Jalanan sepi. Hampir tidak ada suara lalu lalang kendaraan melintas. Di luar kamar, hujan masih menggaris permukaan jendela kaca. Lampu -lampu jalan temaram oleh hujan, seolah ikut merasakan dinginnya malam. Andra sendiri belum mampu terlelap. Merenung di sudut kamar. Diam meski mata terpejam. Duduk memeluk bantal sambil mendengarkan lagu favorit yang di putar DVD player. Lagu dari grup band Power Slave. Hampir separuh memutar satu lagu.

Ingatan Andra menerabas kenangan masa lalu.

            “Demikian tadi sebuah lagu dari Power Slave yang berjudul Impian, spesial di reques oleh Rara di BMS kirimnya juga spesial buat someone yang dibase camp Zandecala, Andra Gun. Jangan lupa persiapkan esok hari dengan semangat, salam sayang.”

            Andra yang selalu on time di dekat radio kecilnya sangat bahagia. Ternyata lagu favorit itu dipesan Rara spesial buatnya. Rara, masih ingat dengan lagu favoritnya. Dia masih peduli dengan Andra. Sangat mengerti dirinya. Meski dia tak lagi ada menemani hari-hari Andra.

Lamunan Andra kian menembus masa lalu, saat Andra baru lulus SMA. Suka berkumpul dan belajar siaran di radio Nine FM, salah satu radio favorit kamula muda di timur alun-alun kota. Awal Andra dan teman-temannya berkumpul biasanya setelah waktu magrib. Karena terbiasa berkumpul setelah magrib, mereka berkomitmen membentuk grup band dengan nama “Zandecala”.  Disana Andra juga bertemu Rara salah satu fans setia radio itu. Bertemu secara tidak sengaja Rara dalam suatu jumpa fans. Rara. Salah satu orang yang mampu merubah perjalanan hidup Andra menjadi seseorang yang lebih berarti secara perlahan.

  Andra adalah seseorang yang pendiam, kaku, dan agak susah diajak ngobrol. Menurut ibunya Andra. Andra itu seperti gong, kalau tidak dipukul tidak bunyi. Tetapi sejak mengenal Rara sikap Andra berubah. Dalam waktu enam bulan Andra terlihat berbeda. Mulai bisa berkomunikasi dan nyambung saat mengobrol dengan siapa saja. Mulai rajin membaca buku. Karya sastra. Koran. Apapun. Perubahan itu membuat para penyiar lain di radio Nine FM terkejut melihat diri Andra cepat beradaptasi dan bisa mengimbangi mereka saat siaran radio, tidak hanya off air saja. Luar biasa pengaruh Rara.

 

            Hujan di luar masih belum mereda. Hawa dingin kian masuk ke kamar kost Andra menembus udara yang tadi masih sempat panas. Andra bangun beranjak mengambil jaket jeans biru kumal yang masih tergantung di kapstok dan memakainya, lalu melanjutkan tidur di kasur busa dan bermimpi tentang kisah klasik bersama malam yang penuh irama hujan.

 

Suara penyiar radio masih terdengar membacakan atensi dari para fans yang meminta memutar lagu slowrock khusus Power Slave.

            “Lagu ketiga dari Power Slave sebentar lagi akan saya putar, tetapi sebelumnya saya bacakan dulu atensi yang masuk “

            Windy salah satu penyiar radio Nine FM khusus acara slowrock selalu on time siaran mulai dari jam tujuh sampai jam sembilan. Dia masih konsen dengan gaya bahasanya yang ngerock medok saat membacakan atensi yang masuk. Salah satu sahabat Andra yang kalem dalam pertemanan.

            “Masih dari Rara kirim spesialnya untuk Andra Gun Zandecala, pesannya jangan bersedih, tetap semangat, dan lepaskan bebanmu. Meski Rara tak di sampingmu, Rara akan tetap ada dalam kenanganmu. Hem...so sweat banget ya…tuh buat Andra Gun Zandecala tetap semangat.”

 

            Gelegar… jedar….Halilintar melintas di langit malam. Andra terkejut dan terbangun dari mimpi.

            Perasaan Andra terombang ambing, melambung jauh terbang kian tinggi dalam angan. Menembus masa lalu. Rara telah banyak meninggalkan kenangan. Tetapi Andra tidak bisa memaksa Rara untuk tetap ada di sini. Andra belum bisa melupakan kenangan bersama Rara meski telah jauh disana. Perpisahan memang menyedihkan. Membuat Andra patah hati lagi hingga kini. Hanya selembar foto hitam putih ukuran 3 x 4 milik Rara dan secarik kertas lusuh bertulis tinta merah yang tersimpan di dompet Andra.  Andra masih mengingat jelas isinya.

            Buat mu seorang

            Andra Gun Zandecala

            Maaf, Rara menuliskan surat ini dengan ballpoint tinta merah. Bukan berarti Rara marah sama kamu. Kebetulan di rumah ga ada ballpoint warna lain. Cuma warna merah saja. Maklumlah di desa pelosok jarang ada ballpoint. Rara hanya mau mengucapkan permintaan maaf dan banyak terima kasih. Kamu pernah menjadi bagian hidup Rara. Selebihnya Rara tidak bisa mengatakan apapun. Kamu sudah berkorban terlalu banyak buat Rara. Kamu yang selalu sibuk pontang panting membantu mencarikan pekerjaan, mengantar dan menjemput setiap waktu dari terminal sampai tempat kerja, tak pernah peduli waktu dan cuaca. Tetapi aku yakin, kamu sangat memahami dan juga menyadari Rara siapa. Kamu sudah tahu jalan ceritaya seperti apa. Rara tidak mau melihat kamu patah hati dan sakit hati. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita. Pesan Rara jangan berhenti jalani hari karena aku. Rara akan selalu ada dihatimu. Doakan juga untuk Rara bisa menjalani hari seperti adanya. Bahagiamu adalah bahagia Rara juga. Tetaplah tersenyum. Gapailah mimpimu setinggi bintang malam. Jadilah kamu seperti yang sekarang. Terakhir jangan pernah berhenti untuk meraih asa dan cintamu.

Salam sayang senantiasa

Rara

Hanya kenangan itu yang masih tersimpan dan menemani. Andra masih teringat dirinya langsung mengundurkan diri, dan tidak pernah nongkrong lagi di radio Nine FM sejak Rara pergi. Entah karena menahan kepedihan atau ingin melupakan beban yang dirasakan dirinya saat itu. Sesekali Andra terkadang masih berpikir apakah Rara merasa bahagia disana. Tetapi Andra berusaha tidak mau larut dalam perasaan. Andra ingin bangkit. Setelah tidak lagi di radio Nine FM Andra bekerja di perusahaan kayu. Sebagai pembuktian. Meski kehilangan Rara tak harus membuat dirinya terluka dan tak berguna. Andra juga mencari kesibukan dengan mengikuti kuliah terbuka. Dan gaji dia saat bekerja digunakannya untuk biaya kuliah dirinya. Ia ingin membuktikan kepada Rara bahwa dirinya bisa move on. Menjelang semester akhir Andra mengundurkan diri dari perusahaan kayu. Sementara dirinya mengajar seni musik di sebuah taman kanak-kanak. Dan setelah lulus kuliah, langsung mendaftar menjadi guru di sebuah SMP, sekolah pinggiran selatan kota.

Ingatan masa lalu terkenang. Hilang bersama waktu. Hanya berita yang tersampaikan kepada angin malam. Dan hujan.

            Andra terlupa sudah berapa lama terlelap dalam mimpi. Pagi masih gelap. Tertutup mendung yang menutupi birunya langit. Di luar hujan gerimis masih setia bersama pagi.  Saat kokok ayam bersenandung, Andra terbangun. Suara lengkingan khas vokalis Power Slave masih berkumandang. Andra lupa semalam tidak mematikan DVD Player. Andra lalu beranjak pergi menyucikan hati. Salat subuh dan berserah pada illahi. Pagi ini, udara dingin masih setia selimuti. Namun tak surutkan langkah Andra bersiap diri bekerja.

Sudah dua tahun ini Andra mengajar di sebuah sekolah negeri di bagian selatan kota. Sebuah perjuangan panjang untuk menjadi seorang guru. Sesaat Andra tersadar. Hari ini. Senin. Jadwal Andra mengajar di kelas tujuh pada jam pertama. Andra bergegas memakai seragam keki lama yang sudah mulai memudar. Sarapan pagi ini seadanya. Maklum tanggal tua. Sarapan hanya dengan sepiring mie instan goreng sudah cukup bagi Andra. Setelah itu Andra mengeluarkan sepeda jengki warna biru yang sudah mulai kusam oleh waktu. Andra mengelap dan membersihkannya dari debu biar mengkilat. Meski tak sebagus dulu saat pertama dibeli. Mantel hujan yang sudah sedikit sobek sana-sini Andra kenakan sebagai pelindung gerimis yang belum juga mereda sejak semalam. Sepatu dia simpan dalam tas kresek hitam biar sampai sekolah tidak basah. Andra berangkat hanya menggunakan alas sandal jepit agar mudah bersepeda.

            Andra mengayuh sepeda jengki warna biru melaju di jalan raya. Tetap semangat meski rintik hujan belum usai. Jarak yang lumayan tidak terlalu jauh. Jalanan ramai lalu lalang kendaraan dengan berbagai macam pemandangan. Ada yang berboncengan, sendiri, bermobil, semua sibuk berangkat ke tempat masing-masing.

            Sesampainya di sekolah. Andra memarkir sepeda jengki biru di tempat sepeda anak karena tempat parkir untuk guru didominasi sepeda motor dan mobil. Andra tak enak hati. Hanya Andra, seorang guru yang mengendarai sepeda kayuh di sekolah itu karena Andra belum memiliki kendaraan bermotor, maklumlah guru honorer dengan gaji hanya lima ratus ribu sebulan. Dan tabungan Andra belum cukup untuk membeli kendaraan, meski hanya untuk sebuah motor bekas. Karena sebagian gaji dipakai untuk makan sehari-hari dan membayar kost yang ditempatinya.

            Tahun ajaran baru telah dimulai. Sejak hari kemarin siswa kelas tujuh baru mengikuti masa orientasi. Dan hari ini para siswa kelas tujuh, delapan, dan sembilan sudah memasuki ruang kelas yang baru. Dan berkenalan dengan wali kelas yang baru. Selama dua tahun Andra sendiri belum pernah merasakan menjadi wali kelas. Karena mungkin Andra guru baru sehingga belum berhak menjadi wali kelas. Tugas Andra tahun ajaran baru ini hanya mengajar kelas tujuh dan delapan serta mendapat tugas tambahan menjadi kepala perpustakaan. Tidak jadi masalah. Andra cukup bersyukur bisa menjadi pengajar di sekolah ini.

            Andra terbiasa berangkat paling awal di sekolah itu. Entah kebiasaan atau terlalu disiplin. Seperti biasa sebelum mengajar Andra ke ruang perpustakaan di bagian belakang sekolah. Andra sangat jarang duduk di ruang guru. Karena ruang guru yang sempit menyebabkan Andra tidak punya jatah meja kerja disana. Jika hanya saat ada rapat saja, Andra ke ruang guru itupun meminjam kursi plastik dari ruang laboratorium TIK. Di perpustakaan Andra tidak sendiri ada satu pustakawan namanya Ibu Ika, usianya di atas umur Andra. Sekitar dua tahunan. Dan satu tenaga administrasi, Ibu Nur usianya lebih muda dari Andra. Cantik dan cekatan. Saat ini Andra berusia dua puluh tiga tahun.         

Ruangan perpustakaan yang Andra tempati awalnya sangat jauh dari kata nyaman. Porak poranda, tak seperti ruangan pada umumnya. Buku-buku banyak yang berserakan, lemari buku yang sudah reyot sangat tidak layak, rak buku terbuat dari kayu sudah rapuh tak jelas warna catnya.                           Dan lebih miris lagi semua lemari buku di sudut. Semuanya berisi sampah bekas jajan anak. Tetapi sejak Andra berada di sana perlahan ruangan dibenahi, lemari yang usang dibuang, buku yang berserakan sudah tertata rapi meski belum sesuai aturan “DDC”, rak kayu dipinggirkan dan di tengah ruang terpasang rak buku yang terbuat dari besi serta lantai yang awalnya dari ubin sudah berganti keramik putih dan berlapis karpet hijau. Sangat nyaman untuk lesehan. Ruangan kerja Andra di dalam gudang perpustakaan didekorasi ulang biar tidak terkesan gudang buku yang semrawut.

Ting…tong…ting…tong…

Bel tanda masuk pelajaran di kelas sudah dibunyikan. Andra berjalan tergesa menuju ruang kelas tujuh. Agak jauh dari ruang perpustakaan. Belum lagi naik di lantai dua. Sesuai jadwal hari ini Andra masuk di ruang kelas tujuh baru. Kelas VII A.

“Selamat pagi anak-anak”

“Selamat pagi Pak Guru”

Andra menatap wajah-wajah baru penghuni kelas VII A. Sambil menghitung jumlah siswa. Ada 32 siswa. Laki laki 12 siswa dan perempuan 20 siswa. Luar biasa. Mayoritas perempuan. Hampir sama dengan jumlah guru di sekolah ini yang mayoritas didominasi perempuan. Dan Andra satu-satunya guru laki-laki paling muda di sekolah ini.

“Sebelum di mulai pelajaran pagi ini. Boleh tidak jika kita berkenalan terlebih dahulu?”

“Boleh Pak Guru.” Seluruh siswa serempak menjawab.

“Okelah kalau begitu” jawab Andra meniru gaya bahasa mirip Kasino warkop.” Dari ujung belakang ya, silakan menyebutkan nama lengkapnya, panggilannya, lalu alamat rumahnya, dan hobinya apa!”

Satu persatu anak mulai menyebutkan namanya dan alamat serta hobi. Ada yang suaranya jelas terdengar, ada yang malu-malu, ada yang terdengar lirih sehingga perlu diulang. Hampir tiga puluh menit berlalu akhirnya semua anak sudah menyampaikan jati dirinya.

“Terima kasih sudah berani berbicara tentang diri kalian. Oke selanjutnya kita akan masuk materi pelajaran.”

“Pak Guru belum berkenalan!” Seru salah satu anak perempuan yang duduknya ada di bagian depan.

“Oh iya….bapak lupa. Nama bapak. Andra Gunady Setiawan. Biasa dipanggil Pak Gun. Ada lagi atau sudah?” Andra memancing jawaban

“Belum pak! Alamat bapak dan hobi bapak belum disebutkan?” seru siswa laki-laki

“Alamat? Pak Gun masih numpang kost di jalan letnan Yusuf, depan Klinik Umum, kurang lebih empat kilometer dari sekolah ini. Hobi bapak adalah membaca, main musik dan menulis puisi. Oke. Bisa di lanjut?” Andra tersenyum melihat keaktifan siswa di kelas ini.

“Belum……”

Andra dengan sabar menjawab semua pertanyaan dari siswa.

Luar biasa.Ternyata anak-anak di kelas ini sudah sangat aktif. Mampu diajak berkomunikasi. Padahal ini kelas baru. Anak perempuannya paling aktif dan kreatif. Sangat seru jika mengajar di kelas ini. Membuat Andra semakin bersemangat mengajar.

Bel istirahat telah di bunyikan. Tiga jam pelajaran berlalu tak terasa. Anak -anak juga merasa kecewa. Baru sebentar belajar dengan Andra. Jam sudah usai.

“Besok jam terakhir jangan lupa, Pak Ariel! Mengajar di kelas ini lagi. Baru ketemu sebentar diajar Pak Ariel saja sudah seru dan luar biasa.”  Seru anak yang duduk di bangku depan.

Pak Ariel? Andra bertanya dalam hati. Mukanya berkerut. Anak perempuan itu. Memanggil Andra dengan sebutan Pak Ariel.

“Jangan marah,   Pak Ariel. Habis potongan rambutnya mirip. Dengan penyanyi Peter Pan.”

Delisha Intan Melyana. Anak kelas tujuh baru. Duduk di bagian depan tetapi sudah aktif menyapa. Entahlah. Ada yang berbeda dengannya. Tetapi apa yang membuatnya berbeda? Andra pun hanya mengiyakan dan tersenyum. Bergegas turun melewati tangga dan kembali ke perpustakaan.

Ruang perpustakaan setiap istirahat pertama selalu ramai oleh para siswa. Andra sendiri tidak heran perpustakaan selalu ramai sampai saat ini. Dahulu perpustakaan sangat sepi. Hanya ada satu dua anak yang mau datang ke perpustakaan. Itu pun hanya mengobrol sambil menghabiskan jajan yang mereka beli. Bukan membaca buku. Kemudian Andra mengadakan perubahan besar-besaran pada ruang perpustakaan. Bahkan promosi dilanjutkan setiap kelas dan juga mengadakan perlombaan dengan hadiah fantastis. Dan hasilnya. Alhamdulillah. Ruang perpustakaan tak pernah sepi dari anak-anak. Hanya saja masih ada sebagian besar guru yang jarang ke perpustakaan. Hal ini yang membuat Andra sedikit risau. Ada apa dengan perpustakaan. Apakah tempat ini begitu menakutkan untuk guru. Bahkan di ruang guru pernah terdengar gosip. Siapapun yang ditempatkan di ruang perpustakaan berarti menjadi guru yang terbuang. Hampir semua guru selalu menolak jika mendapatkan tugas tambahan menjadi kepala perpustakaan. Hanya seorang Andra. Guru yang baru dan langsung mendapat jabatan kepala perpustakaan. Padahal Andra bukan lulusan pustakawan.

“Hayo…ngapain bengong, Pak? Mikirin siapa?”

“Ah…Bu Nur itu, bikin kaget aja.”

“Ah…Pak Gun kuwi biasa…nek ra mikir pacar, yo mikirin pekerjaan to. Bisa jadi mikirin kamu juga.”

Bu Ika dengan ciri khas bahasanya logat wetan alias ngayogjokarto hadiningrat tersenyum. Bu Ika membuat perbendaharaan kata untuk Andra bertambah. Dia paling rajin melayani anak yang datang ke perpustakaan. Karena tutur katanya yang lembut dan logatnya yang membuat anak yang datang ke perpustakaan merasa nyaman.

“Masa Iya, Bu. Pak Gun mikirin diri saya. Mana mungkin.” Bu Nur masih penasaran dan menepuk pundak Andra.

Andra hanya tersenyum saja. Memandang wajah Bu Nur. Memang cantik. Kulit Putih. Mataya lentik. Orangnya Baik. Tapi bukan itu yang dicarinya. Tidak ada kemiripan dengan Rara. Bayangan lama tentang Rara kembali muncul. Senyum dan mata Rara yang membuat Andra takkan lupa.

“Hei…ngopo ndeloki Bu Nur wae? Jatuh cinta ya?”  Tiba-tiba Bu Ika mengusap muka Andra dengan tangannya.

“Kaget, Bu.” Spontan Andra bangkit dan bergegas mengambil buku pelajaran.

Jan...iki guru siji. Ditakoni malah lungo.”

“Sudah bel masuk, Bu. Masuk kelas dulu.”  Seru Andra di luar perpustakaan. Melarikan diri menuju kelas.

Iyo to? Aku ra krungu malah.” 

“Iya bu. Memang sudah bel masuk kelas. Ini sudah setumpuk bukunya. Banyak yang mau pinjam buku.” Bu Nur sibuk mencatat data anak yang meminjam buku dan menghitung jumlah buku yang dipinjam.

Hari ini seolah berjalan cepat. Mentari yang begitu ceria berbagi panasnya. Pembelajaran di kelas sudah usai. Andra masih setia dengan sekolah. Belum beranjak pulang. Di ruang perpustakaan tempatnya inspirasi dan mencari membuka cakrawala ilmu. Tempat Andra mengeluarkan beban. Di ruang kerjanya ada gitar lama. Benda kesayangan itu hadiah ulang tahun untuk Andra yang diberikan oleh para alumni yang sudah lulus sekolah tahun kemarin. Gitar itu dilengkapi dengan tanda tangan mereka. Mereka mengerti sekali jika Andra suka bermain gitar. Gitar itu sering dimainkannya. Terutama saat kesepian dan tidak mengajar. Seperti siang itu, Andra mengambil gitar dan mulai memainkan lagu dari Peter Pan.

“Aku baru tahu Pak Gun bisa main gitar dan menyanyi juga.”

Bu Nur memang karyawan baru. Dia belum lama di sekolah ini. Baru tahun pelajaran ini masuk. Jadi belum paham dan kenal karakter Andra. Jika Bu Ika sudah hafal dan paham karena sudah setahun bekerjasama dengan Andra di perpustakaan. Dia mengerti tentang sifat Andra saat sedih dan senang.

“Pak Gun kalau galau, langsung pacarnya disamperin.”

“Pacar yang mana, Bu?” Bu Nur menengok ke sekitar perpustakaan. “Tidak ada siapa-siapa, Bu Ika. Pak Gun cuma sendiri kok.”

“Itu yang di pegang.” Bu Ika tersenyum sambil menutup mulutnya dengan tangannya. Geli.

“Oalah….pacarnya gitar itu. Saya kira pacarnya ada di sekolahan ini.”

“Bu Nur mau menyanyi atau saya nyanyikan?” Gaya Andra sok belagu.

“Saya tidak bisa menyanyi. Cuma bisa menikmati.” Bu Nur tersenyum.

Wis…, Bu Nur. Mengko malah kesengsem karo Pak Gun, dia sudah ada yang punya lo…”

“Pak Gun siapa yang punya Bu Ika?”  Mata Bu Nur menatap Bu Ika dengan rasa ingin tahu. Wajahnya nampak serius memperhatikan Bu Ika.

Wong tuane sing nduweni, Hehehhee….”

“Hem….Bu Ika ditanya serius, jawabnya menjurus bercanda.” Bu Nur Nampak merah roman mukanya. “Udah menyanyi saja Pak Gun. Biar ga melow. Lagu apa aja boleh, asal jangan dangdut.” Bu Nur berkata sambil berjalan mendekati Pak Gun.

“Okelah kalau begitu…”

Ku lepas semua

Yang ku inginkan

Tak akan kuulangi

Maafkan jika kau sayangi

Dan bila ku menanti

Pernahkah engkau coba mengerti

Lihatlah ku disini

Mungkinkah jika aku bermimpi

Salahkahku menanti

Takkan lelah aku menanti

Takkan hilang cintaku ini

Hingga saat kau tak kembali

Kan ku kenang di hati saja

Kau telah tinggalkan hati yang terdalam

Hingga tiada cinta yang tersisa di jiwa

“Wah…dalam banget, Pak Gun. Lagunya. Memang lagi patah hati ya?”

“Pak Gun kalau menyanyi selalu lagunya galau terus Bu Nur. Dari dulu pertama saya kenal sampai sekarang. Kalau menyanyi ya lagunya begitu, selalu bertema galau galau Bandung.”

“Halo-halo Bandung Bu Ika…” Bu Nur ikutan menepuk jidatnya

Andra masih asik menyanyikan lagu yang terdalam dari Peter Pan. Seolah melepas penat hari ini. Setelah selesai menyanyi Andra menyimpan kembali gitar itu ke tempatnya. Berkumpul kembali dengan Bu Ika dan Bu Nur di dekat meja resepsionis perpustakaan.

Piye, Pak. Mengajar siswa baru? Bocaeh neko neko ora? Opo podo anteng?” Bu Ika bertanya.

“Tadi pagi saat mengajar di kelas VII A. Anak-anaknya lumayan aktif. Sangat antusias dan aktif saat diberi materi pembelajaran. Dan banyak siswa yang komunikatif. Sampai ada salah satu anak perempuan namanya….Siapa ya? Lupa saya. Dia menyapa diriku dengan sebutan Pak Ariel.” Andra bercerita dengan runtut.

“Kok bisa Pak Gun dipanggil Pak Ariel. Memang mirip apanya?” Bu Nur penasaran.

“Bu Nur tidak memperhatikan dari tadi. Pak Gun menyanyi lagunya siapa? Terus lihat potongan rambutnya Pak Gun ikutan gaya siapa coba?” Bu Ika menerangkan dengan cuek.

“Oh iya. Maaf. Saya tidak memperhatikan, Bu. Benar juga. Mirip dengan penyanyi Peter Pan” Bu Nur memperhatikan Pak Gun dengan seksama.

Andra merasa sebenarnya potongan rambutnya biasa saja. Hanya kebetulan gaya rambut mirip dengan Ariel. Lagu yang sedang disukai juga dari album Peter Pan. Lagu-lagunya memang kebanyakan mellow galau. Tapi asik buat dibawain main musik. Main Band. Sayang, sudah lama Andra tidak ngumpul bareng teman satu band. Sejak meninggalkan Radio Nine FM.

Jam dinding perpustakaan sudah menunjukkan waktu setengah tiga sore. Andra masih sibuk menulis puisi. Banyak yang ingin ditulisnya. Tetapi tangannya seolah terhenti tak mampu merangkai kata.

“Ayo…, Pak Gun. Kita mau pulang” Bu Ika menepuk pundak Andra.

“Silakan, kalian berdua pulang dulu. Saya pulang sebentar lagi, Bu.”

“Memang Pak Gun tidak takut sendirian di sini?” Bu Nur menatap Andra menanti jawab.

“Mau menemani diriku?” Tanya Andra balik. Andra balik menatap matanya.

“Enggak ah. Cuma berdua. Takut ada setan.” Tersipu malu. Lalu beranjak pergi mendekati Bu Ika.

“Pak Gun itu sudah biasa sendirian disini, bu Nur. Terkadang lembur sampai malam juga.”

Bu Nur hanya mengangguk seolah baru tahu. Bu Ika mengikuti Bu Nur berlalu dan hanya meninggalkan wangi parfum dirinya yang semerbak mawar.

Tinggalah Andra sendiri. Masih berusaha merangkai kata dan makna. Baru satu puisi yang terbentuk. Tanpa judul. Tetapi Andra merasa sudah cukup untuk hari ini. Saatnya pulang. Andra menyalakan lampu depan perpustakaan. Untuk penerangan malam supaya tidak gelap. Paling tidak membantu Pak Ano. Penjaga malam sekolah yang selalu rajin mengepel sekolah waktu malam. Perpustakaan setiap malam selalu di pel dengan bersih sehingga saat pagi tak perlu di sapu.

Andra mengunci pintu perpustakaan dan berjalan melangkah menuju parkiran sepeda. Hanya satu sepeda yang tersisa. Miliknya. Andra bergegas pulang karena awan hitam sudah memberi tanda sebentar lagi hujan. Dan benar saja. Baru separuh perjalanan, hujan rintik perlahan mengikuti. Andra berhanti sejenak untuk mengenakan mantel. Mantel yang tadi pagi juga sudah ia pakai. Untung sudah kering.

Jalanan yang berdebu mulai basah oleh hujan yang mulai deras. Bau tanah basah kian terasa. Dedaunan kering yang semenjak tadi diterbangkan sang bayu telah jatuh bersama rinai hujan, seolah pertanda gembira menyambut tetesannya. Andra hanya berharap bajunya tak basah kuyup. Karena esok hari masih harus dipakai lagi.

Posting Komentar untuk "Cerbung SAAT JARAK MEMISAHKAN"